Minggu, 28 Juli 2013

BELAJAR MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MULTIPLE INTELLIGENCES



Sebenarnya dalam melaksanakan proses pembelajaran yang menggunakan kerangka multiple intelligences tidaklah sesulit yang dibayangkan. Yang dibutuhkan hanyalah kreativitas dan kepekaan guru. Artinya, setiap guru harus bisa berpikir secara terbuka yaitu keluar dari paradigma pengajaran tradisional, mau menerima perubahan, dan harus memiliki kepekaan untuk melihat setiap hal yang bisa digunakan di lingkungan sekitar dalam menunjang proses pembelajaran.


Laboratorium hidup yang terbesar adalah dunia ini. Untuk mengembangkan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan multiple intelligences, sarana dan prasarana yang dibutuhkan sebenarnya telah tersedia di lingkungan sekitar. Artinya, bahwa pendidikan tidak harus diselenggarakan di dalam kelas dan tidak harus menggunakan peralatan yang canggih. Siswa bisa diajak keluar kelas untuk mengamati setiap fenomena yang terjadi dalam realitas kehidupan yang sebenarnya. Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam.

Berikut akan dipaparkan contoh “kasus nyata” keunikan siswa dalam proses belajar, yang cerita ini saya kutip dari buku yang ditulis oleh Chatib (2009:14-15) dalam buku “Sekolahnya Manusia”. Kasus berikut merupakan contoh seorang anak yang belajar matematika dengan pendekatan kecerdasan spasial yang dimilikinya.

Latif adalah siswa kelas 2. Latif bermasalah dalam belajar. Masalah yang dia alami sangat kompleks karena kombinasi berbagai masalah. Pertama, dia tidak pernah masuk kelas. Oleh karena itu, banyak sekali materi yang tidak pernah ia ikuti. Kedua, Latif tidak pernah membawa buku dan alat tulis. Latif sama sekali tidak termotivasi untuk belajar, akibatnya dia tidak bisa mengenal angka dan penjumlahan.

Ternyata, keluarga menjadi latar belakang terbesar masalah Latif. Sang ibu telah lama bekerja di luar negeri, sementara ayahnya memiliki pekerjaan tidak tetap dan sering ke luar kota. Kondisi ini membuat sang ayah sama sekali tidak memberikan perhatian kepada anaknya, khususnya soal pendidikan. Latif tinggal bersama neneknya yang sama sekali tak peduli urusan sekolah sang cucu. Dapat disimpulkan, masalah Latif bersumber pada kurang perhatian dan kurang kasih sayang orangtuanya.

Namun, di balik masalah tersebut, tersimpan potensi yang luar biasa. Latif sangat suka menggambar dan mewarnai (kecerdasan spasial-visual). Guru matematika di kelas Latif punya ide untuk mengajarkan penjumlahan lewat pintu kecerdasan Latif. Guru tersebut memberikan kesempatan kepada Latif untuk belajar penjumlahan dengan cara melukis angka-angka penjumlahan pada kertas folio yang disambung berjejer di dinding kelas. Betapa antusiasnya Latif “menggambar” di dinding tersebut. Inilah sebuah proses gaya mengajar yang berhasil masuk dalam dunia siswa.

Sekarang, Latif termotivasi untuk sekolah dan sangat enjoy dengan pelajaran matematika. Hasilnya dia mampu menguasai materi penjumlahan yang dahulu dibencinya.
Belajar dari cerita “kasus” Latif di atas, dalam praktik pembelajaran matematika, setiap siswa harus didekati melalui kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya. Akibatnya, jika teori multiple intelligences ini benar-benar diterapkan dalam strategi pembelajaran, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru merupakan pendekatan secara individual. Hal ini, tentunya akan membawa konsekuensi bahwa seorang guru harus “sabar” untuk bisa membuat bagaimana siswa dapat menemukan kegairahannya dalam belajar, dan pembelajaran tidak hanya ditargetkan untuk “menghabiskan” materi dalam kurikulum.

Terkait dengan pembelajaran individual ini, dalam buku yang berjudul “Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah,” Suparno (2004:63) menyatakan bahwa setiap anak dapat lebih dibantu belajar bila diajar sesuai dengan intelegensi mereka yang menonjol, dengan cepat menjadi pendorong bagi mereka yang mau membuat sekolah individual. Kursus privat yang membantu siswa berdasarkan kekuatan dan kelemahan pribadi, yang berbeda dengan teman lain, sangat didukung oleh teori ini. Dengan model pendekatan pribadi ini, jelas seorang siswa akan lebih cepat maju dan guru lebih mudah menyesuaikan cara mengajarnya sesuai dengan intelegensi siswa.

Memang yang ideal di kelas besar pun, pendekatannya lebih pribadi dengan memperhatikan kekhasan, kekuatan, dan kelemahan siswa. Namun, karena siswanya terlalu banyak, tampaknya tidak mungkin seorang guru selalu memperhatikan setiap siswa dan mengajar dengan cara berbeda. Itulah sebabnya ada pengkritik yang mengungkapkan teori Gardner ini terlalu idealistik, terlalu utopi, karena dalam praktik sekolah biasa sulit digunakan. Menurut mereka, teori ini hanya dapat dipraktikkan dalam sekolah individual.

Armstrong (2000:85) memberikan contoh penerapan pembelajaran matematika berbasis multiple intelligences. Dalam bukunya, Amstrong menjelaskan bahwa banyak siswa yang merasa sulit untuk memahami konsep perkalian. Model pembelajaran untuk materi perkalian ini, kebanyakan guru menyuruh siswa untuk menghafal tabel perkalian yang sudah disiapkan dan melakukan tes berulang kali, sampai siswa benar-benar dapat menghafalkan tabel perkalian. Dengan pembelajaran model ini, maka bagi siswa yang memiliki kecerdasan linguistik tinggi biasanya dapat dengan mudah untuk menghafalnya, siswa yang kecerdasan matematiknya tinggi akan mudah memahami konsep perkalian, namun sulit untuk mengingat fakta-fakta perkalian. Sedangkan, bagi siswa yang lemah di bidang kecerdasan linguistik dan matematik, tetapi memiliki kecenderungan yang tinggi dalam kecerdasan yang lain, biasanya akan benar-benar hal ini menjadi masalah. Hal ini dapat dimaklumi, sebagian besar dalam faktanya pembelajaran di sekolah lebih banyak menghargai siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan linguistik dan matematik.

Oleh sebab itu, dalam pembelajaran matematika, khususnya perkalian, guru dapat menerapkan strategi pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan multiple intelligences. Dengan menyelenggarakan pembelajaran berbasis multiple intelligences ini diharapkan setiap siswa akan merasa semangat dan terus termotivasi untuk belajar, sehingga suasana “haus belajar” benar-benar tertanam dalam setiap individu siswa.

0 komentar:

Posting Komentar