Rabu, 31 Juli 2013

MATEMATIKA EKONOMI ISLAM

Oleh Abdul Halim Fathani



Pada tanggal 18 Juli 2010 yang lalu, saya ditelepon teman saya. Sebut saja si Fulan. Ia merupakan teman saya sewaktu kuliah di Jurusan Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, angkatan 2002. Dulu, sewaktu kuliah, si Fulan memiliki prestasi yang lumayan baik. Selain rajin kuliah, ia juga aktif mengikuti pelbagai kegiatan kemahasiswaan, bahkan pernah menjadi pengurus di Ma’had Sunan Ampel Al-Ali. Kurang lebih 4 tahun saya tidak bertemu lagi dengannya. Pertemuan terakhir adalah pada saat tasyakuran acara wisuda –bulan April 2007. Dalam penuturannya, ia menelepon saya untuk “berkonsultasi”. Secara singkat isi “konsultasi” adalah sebagai berikut.


Saat ini, si Fulan tersebut sedang bekerja di dua instansi yang berbeda. Di kantor dinas pendidikan sebagai staf administrasi dan di salah satu sekolah swasta sebagai guru matematika. Di dinas pendidikan, ia telah mendapat SK sebagai tenaga honorer dari Bupati, sementara di sekolah swasta, SK yang didapat hanya ditandatangani oleh pihak Yayasan. Namun, yang ia “konsultasikan” kepada saya bukan masalah SK tersebut, melainkan keinginannya untuk studi lanjut S2.

Ia bertanya saya, apakah ada kuliah S2 program studi pendidikan matematika yang kuliahnya Sabtu-Minggu? Saya jawab, setahu saya tidak (baca: belum) ada. Biasanya, yang menggelar perkuliahan Sabtu-Minggu itu kebanyakan jurusan-jurusan sosial. Rupanya, teman saya tadi, ingin melanjutkan kuliahnya pada Program Pascasarjana S2 pada program studi Pendidikan Matematika, namun agar tidak mengganggu pekerjaannya saat ini ia lebih memilih kuliah “hanya” pada hari Sabtu-Minggu.

Ternyata, sebelumnya, ia sudah pernah survei untuk mencari kampus yang menggelar perkuliahan pada hari Sabtu-Minggu untuk program studi S2 Pendidikan matematika. Dan, ternyata ia tidak berhasil mendapatkannya. Akhirnya, ia menemukan kampus negeri di Surabaya yang menggelar perkuliahan Sabtu-Minggu, tepatnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya, jurusan Ekonomi Islam. Walhasil, teman saya tadi memutuskan untuk membeli formulir pendaftaran mahasiswa baru di kampus tersebut.

Atas keputusan inilah, ia bertanya saya, bagaimana pendapat saya tentang keputusan yang ia ambil. Awalnya, saya menyayangkan keputusan yang diambilnya. Mengapa? Karena, latar pendidikan S1 nya di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang adalah Jurusan Matematika, maka sangat disayangkan jika ia melanjutkan studi, tetapi jurusannya tidak linier. Dengan kata lain, tidak dapat digunakan untuk menunjang keprofesionalan di bidang keilmuan.

Kemudian, saya tanya, apa alasan Anda untuk memutuskan hal ini? Anehnya, ia sebenarnya sudah memiliki beragam alasan “positif” terkait keputusan yang diambil. Pertama, saat ini ia masih bekerja, sehingga keinginan untuk studi lanjut S2 diharapkan tidak mengganggu kerjanya. Kedua, ia berkeyakinan bahwa ilmu Ekonomi Islam yang akan dicari lewat perkuliahan S2 nanti, tidak akan sia-sia. Artinya, ilmu yang diperoleh tetap akan bermanfaat. Ketiga, (mungkin ini alasan pembenar saja), ia menjelaskan bahwa di Matematika itu ada keterkaitannya dengan Ekonomi. Sehingga diharapkan setelah lulus S2 nanti, ia akan lebih menguasai bidang MATEMATIKA EKONOMI. Ilmu Matematika telah diperoleh di bangku S1, sedangkan Ekonomi diperoleh lewat studi S2.

Ketiga alasan di atas, saya apresiasi sangat bagus. Ternyata, untuk mengambil keputusan cerdas sebenarnya sudah dapat diatasi oleh teman saya sendiri, hanya saja mungkin ia kurang percaya diri. Terkait alasan yang ketiga, saya tambahi. Setelah Anda lulus S2, Anda bukan menjadi ahli MATEMATIKA EKONOMI, tetapi Anda adalah seorang yang ahli di bidang MATEMATIKA EKONOMI ISLAM.

Berdasarkan cerita singkat di atas, maka ada beberapa hal yang patut kita renungkan bersama:

1. Akhir-akhir, aturan formal pemerintah menuntut seseorang untuk mengambil studi pada program studi yang linier -baik ketika studi di S1, S2, hingga S3- program studi yang ditempuh harus sama semua, misalnya ketika S1 studi di jurusan Matematiika, maka S2 dan S3 juga harus sama. Faktanya, (seperti kasus di atas), si Fulan yang telah lulus dari S1 jurusan Matematika, kemudian –dalam perkembangannya- ia menyukai bidang Ekonomi Islam. Maka, yang menjadi persoalan adalah, mana yang akan dipilih, tetap studi S2 di jurusan Matematika yang tidak lagi disenangi atau justru mengambil studi S2 di jurusan Ekonomi Islam, sehingga kelak ia akan “lebih” menguasai bidang terapan matematika, khususnya Matematika Ekonomi Islam. Dengan demikian, maka yang harus dipilih adalah, ia harus mengambil S2 Matematika dengan tujuan agar linier dan ijazahnya tertulis Magister Matematika, tetapi dalam kenyatannya ia tida begitu “mahir matematika”. Ataukah, ia mengambil S2 Ekonomi Islam dan nantinya dapat mempertanggungjawabkan kemampuan riil dan keahlian formal yang dibuktikan dengan Ijazah, yaitu menjadi ahli Matematika Ekonomi Islam? Yang harus dipilih adalah, antara Kemampuan yang melekat pada Formalitas atau dalam Realitasnya.

2. Kalau dilihat dari perspektif keilmuan, maka pemisahan bidang ilmu itu tidak saklek. Artinya, tidak ada yang melarang ilmu matematika itu untuk “berinteraksi” dengan ilmu yang lain, semisal Ekonomi. Justru, kalau ada “kebebasan akademik” dalam hal pencarian ilmu, maka dimungkinkan “warna-warni” perkembangan ilmu akan semakin kelihatan. Tetapi, jika pencarian ilmu itu dibatasi aturan formal, semuanya harus liniear, maka perkembangan ilmu akan mengalami hambatan? Dan, saat ini sudah bisa kita saksikan, banyak lahir ilmu-ilmu eksak yang berinteraksi dengan ilmu-ilmu sosial, seperti Psikometri, Sosiomatematika, Bioetika, dan sebagainya.

3. Aturan formal pemerintah yang menyarakan setiap orang untuk studi S1, S2, S3 itu harus linier, bukan berarti tidak baik. Kelinieran program studi yang diambil dapat berimplikasi postif demi pengembangan keilmuan itu sendiri, misalnya orang yang studi linier di bidang bahasa inggris, maka akan berdampak pada perkembangan keilmuan bahasa Inggris. Tetapi, bagi yang studi non-linier akan berdampak pada pengembangan ilmu lintas disiplin.

4. Selain kasus di atas, saya juga punya teman yang waktu studi S1 ia mengambil jurusan matematika, tetapi ketika melanjutkan S2, teman saya tadi mengambil jurusan Manajemen Kebijakan Pendidikan. Sekilas, teman saya tadi aneh, jurusan yang diambil sangat bertolak-belakang. Tetapi, kalau kita renungkan lebih jauh, sungguh tidak asa yang aneh. Hemat saya, (mungkin) teman saya tadi mempunyai keyakinan –misalnya menjadi kepala sekolah atau pemegang kebijakan yang di atasnya- untuk memperbaiki kebijakan pemerintah terkait aspek-aspek pendidikan, khususnya dalam bidang matematika. Didukung dengan kemampuan matematika yang diperoleh waktu S1 dan kemampuan bidang kebijakan pendidikan yang diperoleh sewaktu S2, maka sangat dimungkinkan teman saya tadi untuk mengambil kebijakan yang pas terkait pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolahnya. Misalnya, Apakah semua siswa “wajib” mengikuti KBM matematika ataukah hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan matematika saja? Pemberlakuan matrikulasi matematika, pelaksanaan bimbingan belajar matematika menjelang ujian nasional, dan sebagainya? Karena teman saya tadi mengetahui “seluk-beluk” matematika, maka sangat dimungkinkan kebijakan yang diambil merupakan kebijakan yang benar-benar bijak.

Demikian, beberapa catatan kecil yang merupakan refleksi dari beberapa kejadian nyata yang terjadi pada teman saya, dan juga mungkin terjadi pada beberapa teman yang lain- termasuk pada diri saya sendiri. Semoga, semua ilmu yang kita peroleh melalui bangku pendidikan formal maupun nonformal, semuanya tetap bermuara untuk mencapai keridhaan Allah swt dan merupakan ilmu yang bermanfaat fiddunya wal-akhirat, dan semoga kita semua dapat mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari. Amin. [ahf]


0 komentar:

Posting Komentar