Rabu, 14 Agustus 2013

ANGKA DAN KEJUJURAN

oleh Abdul Halim Fathani
Pemerhati Pendidikan, 
Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang


Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” [HR. Bukhari].


SETIAP manusia –dalam kehidupan sehari-harinya, tentu tidak bisa dilepaskan dari angka. Baik dalam kepentingan yang tingkat sederhana, sedang, sampai yang tingkat tinggi. Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat (2010) dalam artikelnya berjudul “Sulit Hidup Tanpa Angka” menyatakan bahwa disadari atau tidak, aktivitas kita sangat terikat dan dibatasi angka-angka. Setiap hari kita menggunakan ukuran angka dalam melakukan aktivitas. Dalam ibadah shalat pun kita mesti mengingat jumlah rakaat. Dalam berzakat ada istilah nisab, batas minimal kekayaan yang mesti dizakati. Dalam membayar pajak juga ada rumusan besaran angka. Ketika terjadi pertandingan sepak bola antara timnas Indonesia dan Malaysia, keputusan akhir juga dirumuskan dalam skor angka.

Dalam aktivitas yang akrab dan ringan, kita selalu saja berhubungan dengan angka, misalnya sebagai berikut:

a) Berapa harga buku dengan judul “X”? Maka, jawabannya adalah buku ini harganya Rp 25.500,00 atau lainnya.
b) Ketika mau melakukan ibadah shalat, tentu akan melihat jam, untuk memastikan apakah sudah masuk waktu shalat atau belum? Untuk shalat Dhuhur, misalnya sekitar jam 11.40.
c) Dalam suatu keluarga, jika kita menjawab pertanyaan seseorang berapa anak dalam satu keluarga? Berapa yang anak laki-laki? Berapa anak perempuan?, maka tentu membutuhkan “bantuan” angka untuk menjawabanya.
d) Menentukan agenda kantor atau pribadi, tentu kita selalu melihat kalender, untuk menentukan tanggal berapa agenda tersebut dilaksanakan.
e) Misalkan ketika kita memesan nasi prasmanan. Maka, pertanyaannya adalah berapa porsi yang kita pesan, dan setiap porsi berapa harganya?
f) Berapa umur kita? Berapa tinggi badan kita? Berapa berat badan kita?
g) Dan seterusnya

Beberapa item di atas, dapat dengan mudah menjawabnya, tidak perlu dilakukan riset mendalam, karena berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Dan, (mungkin) untuk menjawab secara “jujur” pun tidak keberatan. Namun, ada beberapa hal yang ketika kita menggunakan angka sebagai patokannya, harus dilakukan kajian atau riset terlebih dahulu, bahkan untuk menjawab “jujur” pun harus berpikir dulu dan cenderung sulit diwujudkan, seperti berikut ini.

Ketika dalam proses pembelajaran matakuliah tertentu, setiap dosen akan memberi nilai kepada mahasiswa, tentu tidak boleh “ngawur”, melainkan harus melandaskan pada data dan fakta selama proses pembelajaran. Tentunya, nilai A, B, C, dan seterusnya –sejatinya- harus dapat menggambarkan kualitas atau mutu yang sesungguhnya (minimal mendekati) pada mahasiswa bersangkutan. Sehingga “angka” pada Kartu Hasil Studi (KHS) mahasiswa benar-benar dapat menunjukkan kualitas riil mahasiswa bersangkutan. 

Namun, kadang juga terjadi, mahasiswa yang memperoleh nilai bagus (semisal IPK 3,99) ternyata dalam realitanya ia kalah “berkompetisi” di masyarakat dengan mahasiswa lain yang nilainya tidak terlalu bagus (semisal IPK 2,99 atau justru 1,99). Jika demikian, tentu tantangannya dikembalikan lagi kepada mahasiswa yang bersangkutan. Bagi mahasiswa yang nilainya bagus, diharapkan dapat “mempertanggungjawabkan” angka-nilainya dalam praktik kehidupan sesungguhnya. Sebaliknya, bagi mahasiswa yang nilainya jelek, tidak perlu putus asa. Tetapi justru menjadikan sebagai tantangan, yakni mahasiswa bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa angka-nilainya yang jelek tersebut, biarlah itu “hanya” berhenti di transkrip nilai. Selanjutnya, mahasiswa dapat membuktikan bahwa kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya jauh melebihi yang tertulis di transkrip.

Dari di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya pendidikan itu seharusnya bukan hanya berorientasi kepada pemerolehan nilai, tetapi –yang paling utama- harusnya berorientasi pada pemahaman materi. Apabila materi dapat dikuasai-pahami, maka angka-nilai dengan sendirinya akan menyertainya. Kualitas seseorang tidak hanya persoalan angka matematis, namun banyak sekali hal-hal yang tidak dapat diukur dengan angka.

Terkait hal ini, maka ketika menyatakan suatu kualitas dengan angka, maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah “kejujuran”. Data statistik atau hasil polling seyogianya dapat menggambarkan secara benar dan apa adanya. Misalnya, ketika kita akan menyatakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap keberhasilan pemerataan pendidikan, maka dituntut dapat memberikan data seakurat mungkin. Karena, meng’angka’kan kualitas memang bukan perkara yang mudah. Namun, jika kita bisa memegang kata kunci kejujuran, niscaya akan didapatkan data kuantitas yang akan berbanding lurus dengan kualitas.

Kalau kita membaca kitab Ihya Ulumudiin, karangan Imam al-Ghazali, maka kita akan menemukan pembagian sifat jujur. Cendikiawan sekaligus tokoh pendidikan Islam ini membagi sikap jujur menjadi 6 (enam) kategori, yaitu 1) jujur dalam lisan dan bertutur kata; 2) jujur dalam berniat dan berkehendak; 3) jujur dalam berobsesi dan bercita-cita; 4) jujur dalam menepati obesesi; 5) jujur dalam beramal dan bekerja; dan 6) jujur dalam maqam-maqam beragama.

Pembagian jenis jujur menurut al-Ghazali tersebut berbenang merah dengan manusia yang bekepentingan dengan pendidikan (lisan, bertutur kata, niat, obsesi, cita-cita, beramal, dan bekerja). Adanya korelasi antara kejujuran dan pendidikan, sebenarnya bisa menciptakan suatu keunggulan pada diri manusia. Faktanya, kita mengenal Rasulullah saw adalah sosok yang jujur. Dengan kejujuran itulah beliau menjadi pemimpin yang berhasil dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dalam keluarga, bisnis, politik, sosial, dan budaya. Padahal menurut riwayat, beliau tidak mendapatkan pendidikan formal yang tinggi. Beliau bisa mencapai kesuksesan bukan dari lomba, kompetisi atau sejenisnya yang dinilai dengan angka, tetapi dari budi pekertinya yang terpuji, termasuk jujur.

Berpijak pada hal inilah, maka menjadi suatu keniscayaan jika gambaran angka pada suatu kuantitas harus dapat mendeskripsikan secara “apa adanya” pada kualitas yang digambarkan. Data kuantitas cenderung tetap dan tidak berubah, sementara data kualitas cenderung mengalami perubahan sesuai dengan kondisi riil yang terjadi. Oleh karenanya, satu hal yang penting, gambaran secara angka –seharusnya- tidak menjadi satu-satunya patokan untuk pengambilan keputusan. Gambaran kualitas yang sering berubah seiring dengan perkembangan waktu pun laik dipertimbangkan. Dan, kejujuran dalam hal ini menjadi sesuatu yang penting. [ahf]

0 komentar:

Posting Komentar