Jumat, 02 Agustus 2013

KEBENARAN SPIRITUAL DAN KEBENARAN MATEMATIKA



Oleh M. Rendik Widiyanto dan Badiatur Rofiah

I. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, diantaranya adalah menggunakan rasio (rasionalis) dan juga menggunakan pengalaman (empiris). Dalam usaha mencari kebenaran tersebut, terkadang manusia melupakan hakikat kebenaran yang sebenarnya. Kata “kebenaran” sendiri memiliki pemaknaan yang berbeda-beda bagi tiap individu tergantung dari sudut pandangnya. “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).


Kebenaran menurut matematika, mungkin akan berbeda dengan kebenaran menurut Islam. Hal ini dikarenakan matematika adalah ilmu pasti yang membutuhkan pembuktian dan kesepakatan. Sedangkan Islam meyakini segala sesuatu yang datangnya dari Allah adalah kebenaran.
Ilmuwan yang mendalami matematika cenderung berpikir sesuatu secara ilmiah, logis, dan realistis. Berbeda dengan orang-orang yang mendalami spiritual yang cenderung mempercayai bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak lepas dari pengaruh ghaib, mistis, dan bahkan susah dinalar manusia awam.

Namun demikian, antara kedua sudut pandang tersebut terdapat keterkaitan yang signifikan. Jika pengetahuan matematika dan pengetahuan spiritual terkonvergensi dan bergabung akan menimbulkan interaksi menakjubkan. Interaksi ini pula yang melahirkan pengetahuan-pengetahuan populer dan digunakan untuk kemajuan peradaban manusia hingga saat ini (Rauff, 2000:58).Topik yang diangkat pada artikel ini masih bersifat umum dan luas, dalam pembahasannya dibatasi pada konteks kebenaran spiritual dan matematika secara general terkait dengan Matematika Al-Qur’an dalam Islam.

II. PEMBAHASAN
Dalam percakapan sehari-hari, kita seringkali mendengar dan juga mengucapkan kata “kebenaran”. Kata “kebenaran” sendiri dapat didefinisikan bermacam-macam. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (dalam Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu: 1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya); 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); 3. kejujuran, ketulusan hati; 4. Selalu izin, perkenanan.
Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya (Sonny Keraf, 2002:66).

Kesimpulan kebenaran menurut kami dari beberapa definisi diatas adalah keadaaan yang sesunnguhnya, sesuai dengan kenyataan dan benar adanya. Namun dalam artikel ini kami akan mencoba memaknai kata kebenaran dalam konteks yang lain. Kami akan mengkomparasikan kata kebenaran melalui konteks spiritual dan konteks matematika.
Pertama dari konteks spiritual. QS. Al-Baqarah (2): 147 berbunyi: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” Demikian juga QS Ali Imran ayat 60 yang berbunyi “Apa yang telah Kami ceritakan itu, itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
Berdasarkan ayat-ayat ini, kami mengambil kesimpulan bahwa kebenaran menurut agama Islam adalah segala sesuatu yang berasal dari Allah SWT. Kebenaran tak hanya cukup diukur dengan rasio dan pengalaman individu. Kebenaran ini bersifat objektif, universal, dan berlaku bagi umat manusia, karena kebenaran ini bersumber dari Tuhan dan disampaikan melalui wahyu. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai mahluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran. (Musrida. Irvan Jaya, 2010:115)

Pengertian ini terlihat bertolak belakang dengan matematika. Dimana matematika adalah ilmu yang menganut teori kebenaran sebagai Keteguhan. Teori ini dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya. Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini (Resnick, 1998).

Ada dua teori tentang kebenaran dalam matematika, yaitu teori korespondensi dan teori koherensi. Kebenaran adalah pengakuan realitas (hal ini dikenal sebagai teori kebenaran korespondensi) (Rand, 1982:16). Teori kebenaran korespondensi (the correspondence theory of truth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Contoh, “Semua manusia akan mati,” merupakan suatu pernyataan yang bernilai benar karena kenyataannya memang demikian. Hal ini membawa kita kepada pandangan bahwa kebenaran terdiri dalam beberapa bentuk korespondensi antara keyakinan dan fakta ” (quoted in Velasquez, 2005:446).

Teori Kebenaran Koherensi (Coherence Theory of Truth) berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar (Verhaak, 1989:123). Contohnya, pengetahuan Aljabar telah didasarkan pada pernyataan pangkal yang dianggap benar. Pernyataan yang dianggap benar itu disebut aksioma atau postulat.

Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Berdasarkan teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten (Hume,1977:194)
Dari sini kita dapat melihat perbedaan mencolok antara kebenaran dari sisi matematika dan dari sisi spiritual (keislaman). Mengesampingkan perbedaan tersebut, dalam artikel ini kami akan membahas kaitan antara kedua sudut pandang tersebut.

Peranan matematika dalam kehidupan pernah dilontarkan oleh seorang filsuf, ahli matematika, dan pemimpin spiritual Yunani, Phitagoras (569-500 SM), 10 abad sebelum kelahiran Rasulullah SAW. Phitagoras mengatakan, angka-angka mengatur segalanya. Kemudian, 10 abad setelah kelahiran Rasulullah SAW, Galileo Galilea (1564-1642 M), mengatakan: Mathematics is the language in which God wrote the universe (Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan dalam menulis alam semesta). Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempercayai kekuatan angka-angka (bilangan) di dalam kehidupan. Senada dengan pendapat Galileo, “Perkembangan ilmu pengetahuan sempurna dan tidak membingungkan dan menjadi jelas jika dinyatakan dalam bentuk bilangan “(Pandey, 1991:103). Carl Sagan, seorang fisikawan dan penulis novel fiksi ilmiah, mengatakan, matematika sebagai bahasa yang universal.

Pada matematika simbol X dan Y, biasanya digunakan untuk penyimbolan pada fungsi maupun himpunan, X untuk daerah asal (domain) dan Y daerah kawan (kodomain). Disini kami menggunakan simbol X dan Y untuk menyimbolkan laki – laki dan Perempuan.
Relasi berasal dari kata bahasa Inggris relation yang berarti hubungan. Dalam dunia Islam hubungan antara umat Islam dengan umat Islam yang lain (yang kami maksud disini antara pria dan wanita yang belum menikah) selama tidak menimbulkan fitnah dan tidak keluar dari jalur syariat maka diperbolehkan, Bahkan bergaul dengan umat yang berbeda agamapun diperbolehkan. Dengan kata lain adalah hubungan yang sehat. Tiap orang boleh berteman dengan satu orang, dua orang dan banyak orang tidak dibatasi. Bahkan seseorang dapat memilih untuk tidak bergaul dengan orang lain (mungkin orang yang akan diajak bergaul,tersebut membawa pengaruh buruk dalam lingkungan).

Dalam matematika juga terdapat istilah relasi yang artinya tidak jauh beda dengan arti relasi di atas.

Misalkan ada himpunan X={1,2,3,4} dan Y= {a,b,c}
Salah satu relasi yang dapat dibuat dari X dan Y dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Contoh relasi disamping menghubungkan antara anggota X anggota Y, yaitu 1 dengan a, 2 dengan b,2 dengan c, 3 dengan b, 4 dengan a,dan 4 dengan c. Jadi relasi dalam matematika tidak membatasi anggota X dalam menjalin hubungan dengan anggota Y, boleh hanya satu relasi, dua relasi, tiga relasi, dan bahkan tidak melakukan hubungan pun juga diperbolehkan.
Seperti yang diterangkan Dalam Alqur’an Surat Al Hujurat 13 yang artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Melihat adanya titik temu yang signifikan anatara dunia matematik dengan Islam tersebut, seorang Filsuf Michael Resnick (Resnick, 1998) menawarkan beberapa gagasan tentang kebenaran dalam matematika. Resnick melihat setidaknya terdapat dua aspek kebenaran matematika: kebenaran imanen dan kebenaran transenden (Rauff, 2000:63)

Kebenaran imanen dapat diartikan bahwa sebuah kebenaran yang hanya berlaku untuk pernyataan yang ada dalam lingkup matematika saja. Objek matematika diyakini kebenarannya dalam konteks matematika saja. Dengan kata lain, pernyataan yang diyakini benar secara matematika, belum tentu benar bila dilihat dari sudut pandang yang lain. Kebenaran ini tidak bergantung pada hal-hal, hubungan, atau pengamatan di luar bidang matematika (Rauff, 2000:64). Kebenaran matematika imanen dapat dipertentangkan dengan kebenaran matematika transenden, yang mencari dukungan mengacu pada benda-benda fisik atau korespondensi antara objek matematika dan objek non-matematika. Kebenaran transenden matematika dibuktikan melalui eksperimen serta pembuktian.

Sebagai contoh, sebagai kebenaran transenden matematika, 2 + 1 = 3 membuat pernyataan tentang jumlah orang di dalam mobil saya setelah saya dan anak saya bertemu dan menjemput istri saya. Kebenaran persamaan itu dikonfirmasi melalui korespondensi untuk dunia pengalaman saya. Saya telah mempelajari bahwa 2 + 1 = 3 adalah benar dalam kasus ini karena Saya memahami konsep dari himpunan dan beberapa prinsip-prinsip logika sederhana. Ini adalah kebenaran dalam konteks himpunan dan logika dan akan berlaku bagi siapa saja bersedia menerimanya (Rauff, 2000).

Kebenaran spiritual juga memiliki imanen / transenden. Di satu sisi mereka adalah kebenaran dalam bahasa mereka sendiri. Jika seseorang diajarkan untuk memahami konsep spiritual, maka seseorang dapat belajar kebenaran tentang mereka sendiri. Selanjutnya, adalah benar untuk mengatakan bahwa tanpa persiapan yang memadai, salah satu mungkin bisa menjadi tidak mampu memahami kebenaran spiritual. Di sisi lain, kebenaran spiritual yang menginginkan untuk melampaui bahasa mereka sendiri dan pernyataan status dari kebenaran dalam ranah lainnya (Rauff, 2000).
Guru Islam Ayatollah Khalkhalli mengatakan bahwa “Realitas akan selalu menang. ” (Naipaul 1998:210) Dari sini kita memahami bahwa realitas berarti kebenaran dan bahwa kebenaran muncul untuk melawan kepalsuan. Untuk Khalkhalli, yang kebenaran spiritual keimanannya telah melampaui bahasa Islam untuk menjadi kebenaran dari semua bahasa, dimana saja.
III. PENUTUP
Matematika dan spiritual masing-masing memiliki pendekatan tersendiri dalam memahami kebenaran. Namun, antara kedua sudut pandang pendekatan tersebut terdapat keterkaitan yang signifikan. Keselarasan antara kebenaran matematika dan kebenaran spiritual adalah penting karena keberhasilan masing-masing telah melampaui dalam bahasa sendiri. Matematika telah memberikan banyak kebenaran untuk ilmu pengetahuan dan spiritualitas telah melakukan hal yang sama untuk manusia.

Mempelajari matematika tidak hanya monoton berkutat didalam angka-angka saja. Matematika juga memiliki nilai spiritual jika kita memahaminya. Belajar matematika tidak hanya menentukan hasil dari soal yang dikerjakan, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual yang dapat dijadikan sebagai kendaraan kita dalam memahami agama dan meningkatkan keimanan kita sebagai umat Islam.
REFERENSI
James V. Rauff. 2000. Number, Infinity, and Truth: Reflections on the Spiritual in Mathematics. Department of Mathematics Millikin University
Morris, Greg, 1995. Developing the spiritual in mathematics. Mathematics Teaching 153:36-37.
Rucker, Rudy, 1995. Infinity and the Mind. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Fred Seddon , Rand and Rescher on Truth, The Journal of Ayn Rand Studies 8, no. 1 (Fall 2006): 41–48.
Imam Wahyudi, Refleksi Kebenaran Ilmu, Jurnal Filsafat, Desember 2004, Jilid 38, Nomor 3
Musrida, Irvan Jaya. 2010. Teori-Teori Kebenaran Filsafat. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama.
Kajian Penelitian (Review Jurnal Internasional) Pendidikan Matematika S2 Pendidikan Matematika Juli 2012 Oleh : Dr. Marsigit, M.A. PPS UNY
Sumber: http://rendikwidiyanto.wordpress.com/2012/11/07/kebenaran-spiritual-dan-kebenaran-matematika/

0 komentar:

Posting Komentar