MATEMATIKA, MITOS MASYARAKAT, DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
Oleh Abdul Halim Fathani
Sejarah menunjukkan bahwa matematika dibutuhkan
manusia. Dapatkah Anda membayangkan bagaimana dunia ini sekarang seandainya
matematika tidak ada? Dapatkah Anda mendengarkan radio, melihat televisi, naik
kereta api, mobil atau pesawat terbang, berkomunikasi lewat telepon atau
Handphone (HP), dan lain sebagainya? Dapatkah Anda membayangkan kacaunya dunia ini
seandainya orang tidak bisa berhitung secara sederhana, tidak bisa memahami
ruang di mana dia tinggal, tidak bisa memahami harga suatu barang di suatu
supermarket? Apa yang terjadi seandainya orang Malang mengatakan 7 + 5 = 12,
sedangkan orang Surabaya berpendapat 7 + 5 = 75, atau kejadian-kejadian yang
lain.
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang
harus dikuasai oleh siswa. Sebab sesuai dengan gambaran di atas, ternyata
matematika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Matematika
selalu mengalami perkembangan yang berbanding lurus dengan kemajuan sains dan
teknologi. Hal yang demikian, kebanyakan tidak disadari oleh sebagian siswa
yang disebabkan minimnya informasi mengenai apa dan bagimana sebenarnya
matematika itu. Dengan demikian, maka akan berakibat buruk pada proses belajar
siswa, yakni mereka hanya belajar matematika dengan mendengarkan penjelasan
seorang Guru, menghafalkan rumus, lalu memperbanyak latihan soal dengan
menggunakan rumus yang sudah dihafalkan, tetapi tidak pernah ada usaha untuk
memahami dan mencari makna yang sebenarnya tentang tujuan pembelajaran
matematika itu sendiri.
Selama ini masyarakat memiliki persepsi (mitos)
negatif terhadap matematika. Sebagaimana yang dikemukakan Frans Susilo dalam
artikelnya di Majalah BASIS yang berjudul Matematika Humanistik, bahwa
kebanyakan sikap negatif terhadap matematika timbul karena kesalahpahaman atau
pandangan yang keliru mengenai matematika. Untuk memahami matematika secara
benar dan sewajarnya, pertama-tama perlu diklarifikasi terlebih dahulu beberapa
mitos negatif terhadap matematika. Beberapa di antara mitos tersebut, antara
lain: pertama, anggapan bahwa untuk mempelajari matematika diperlukan
bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang. Kebanyakan orang berpandangan
bahwa untuk dapat mempelajari matematika diperlukan memiliki kecerdasan yang
tinggi, akibatnya yang merasa kecerdasannya rendah mereka tidak termotivasi
untuk belajar matematika.
Mitos kedua, bahwa matematika adalah ilmu
berhitung. Kemampuan berhitung dengan bilangan-bilangan memang tidak dapat
dihindari ketika belajar matematika. Namun, berhitung hanya merupakan sebagian
kecil dari keseluruhan isi matematika. Selain mengerjakan
penghitungan-penghitungan, orang juga berusaha memahami mengapa penghitungan
itu dikerjakan dengan suatu cara tertentu.
Mitos ketiga, bahwa matematika hanya
menggunakan otak. Aktivitas matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan
otak. Namun, logika dan kecerdasan saja tidak mencukupi. Untuk dapat
berkembang, matematika sangat membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia
seperti halnya seni dan sastra. Kreativitas dalam matematika menyangkut
akal-budi, imajinasi, estetika, dan intuisi mengenai hal-hal yang benar. Para
matematikawan biasanya mulai mengerjakan penelitian dengan menggunakan intuisi,
dan kemudian berusaha membuktikan bahwa intuisi itu benar. Kekaguman pada segi
keindahan dan keteraturan sering kali juga menjadi sumber motivasi bagi para
matematikawan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru demi pengembangan matematika.
Atau dengan kata lain untuk dapat mengembangkan matematika tidak hanya
dibutuhkan kecerdasan menggunakan otak kiri saja, melainkan juga harus mampu
menggunakan otak kanannya dengan seimbang.
Mitos keempat, bahwa yang paling penting
dalam matematika adalah jawaban yang benar. Jawaban yang benar memang penting
dan harus diusahakan. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana
memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain, dalam menyelesaikan persoalan
matematika, yang lebih penting adalah proses, pemahaman, penalaran, dan metode
yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan tersebut sampai akhirnya
menghasilkan jawaban yang benar.
Mitos kelima, bahwa kebenaran matematika
adalah kebenaran mutlak. Kebenaran dalam matematika sebenarnya bersifat nisbi.
Kebenaran matematika tergantung pada kesepakatan awal yang disetujui bersama
yang disebut ‘postulat’ atau ‘aksioma’. Bahkan ada anggapan bahwa tidak ada
kebenaran (truth) dalam matematika, yang ada hanyalah keabsahan (validity),
yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang digunakan manusia pada
umumnya.
Dari kelima mitos yang dikemukakan oleh Frans
Susilo di atas merupakan sebagian kecil yang terjadi dalam masyarakat. Menurut
hemat penulis, masih ada mitos-mitos lain yang terjadi di masyarakat. Di
antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, bahwa matematika itu tidak
berguna dalam kehidupan. Kebanyakan masyarakat berpendapat seperti ini
disebabkan selama menempuh pelajaran matematika di bangku sekolah, seorang Guru
jarang (hampir tidak pernah) memberikan informasi mengenai penerapannya dalam
kehidupan nyata. Kebanyakan Guru hanya memberikan materi yang berorientasi agar
siswa dapat mengerjakan soal-soal dengan lancar dan mendapatkan nilai yang
tinggi dan memuaskan.
Kedua, anggapan bahwa seorang lulusan
jurusan matematika itu pasti menjadi Guru. Ketika pertama kali penulis kuliah
di UIN Malang (mengambil jurusan Matematika), penulis sempat ditanya oleh
banyak orang tentang jurusan apa yang dipilih. Lalu, dengan bangga penulis
menjawab bahwa jurusan yang saya pilih adalah jurusan matematika. Spontan,
orang tersebut berkata: “kalau begitu, besok anda akan jadi Guru ya?”. Belum
tentu !, jawab saya. Setelah itu saya berfikir mengapa kok saya dinobatkan
sebagai calon Guru, padahal keilmuan yang saya tekuni adalah matematika murni
bukan pendidikan. Setelah berfikir lama akhirnya saya memaklumi omongan orang
tersebut, karena memang selama ini matematika yang diwariskan oleh Guru kita
adalah matematika yang tidak membumi atau matematika yang hanya ada pada
selembar kertas putih yang penuh dengan rumus dan angka belaka.
Ketiga, Hal ini juga terjadi pada penulis
sendiri, pernah suatu ketika ditanya oleh seorang teman sewaktu sekolah di MAN
Lamongan yang sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya .
Sekarang sudah semester berapa? Tanya teman saya yang kemudian saya jawab bahwa
saya sekarang sudah semester VIII (waktu itu) yang sedang dalam menyelesaikan
penelitian untuk skripsi. Teman saya bertanya lagi: Lho, kalau jurusan
matematika itu skripsinya bagaimana, apa membuat rumus atau bagaimana?. Dengan
semangat saya menjelaskan, bahwa skripsi matematika itu tidak berbeda dengan
skripsi pada jurusan yang lain. Skripsi matematika dapat berbentuk berbagai
model penelitian. Ada yang berupa aplikasi atau penerapan rumus, konsep, atau
teorema dalam kehidupan nyata, misalnya pada ekonomi, pertanian, teknik,
psikologi, dan lain-lain. Ada juga yang berupa kajian literatur, yakni
mengkaji, menganalisis, membahas, suatu teorema, atau konsep yang masih perlu
untuk dipecahkan. Dan masih banyak model-model lainnya yang pada intinya adalah
sama saja dengan skripsi pada jurusan lainnya, karena pada hakekatnya skripsi
itu adalah melakukan penelitian, di mana penelitian itu juga bisa dilakukan
secara kuantitatif, kualitatif atau gabungan keduanya.
Melihat berbagai fenomena yang terjadi pada
masyarakat di atas, maka mulai saat ini harus segera kita galakkan upaya
bagaimana untuk memasyarakatkan matematika. Dalam artian bagaimana masyarakat
itu mengetahui matematika secara utuh, sehingga tidak ada kepincangan informasi
di masyarakat. Akar permasalahan yang menimbulkan matematika tidak
memasyarakat, salah satunya disebabkan informasi yang diterima masyarakat
bersifat parsial. Kepincangan informasi tersebut yang mengakibatkan persepsi
masyarakat terhadap matematika menimbulkan kesan negatif. Dengan demikian cara
yang paling efektif menurut hemat penulis dalam rangka memasyarakatkan konsep
matematika secara utuh adalah melalui siswa yang sedang belajar matematika di
bangku sekolah. Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana
seharusnya proses pendidikan/pembelajaran matematika di sekolah itu
diselenggarakan. Mungkinkah menghadirkan pendidikan matematika yang lebih
manusiawi sehingga matematika tidak lagi dipandang sebagai momok yang
menyeramkan?
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan
pendidikan matematika di sekolah, pertama kali yang harus dilaksanakan adalah
bagaimana menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika. Sebab tanpa
adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar, dan kemudian menguasai
matematika secara sempurna. Menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika
akan sangat terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran
matematika di sekolah. Aspek-aspek itu menyangkut pendekatan yang digunakan
dalam pembelajaran matematika, metode pengajaran, maupun aspek-aspek lain yang
mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan proses pembelajaran
matematika, misalnya sikap orang tua (atau masyarakat pada umumnya) terhadap
matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap
matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus
diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Matematika sebenarnya
memiliki banyak sisi yang menarik. Namun, seringkali hal tersebut tidak
dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya siswa mengenal
matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai
kumpulan rumus, angka, dan simbol belaka.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak dapat
dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Dan pendekatan tersebut
biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh
apa yang diyakini paling baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas.
Guru yang memandang matematika sebagai produk yang sudah jadi akan mengarahkan
proses pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan
cenderung mengisi pikiran siswa dengan sesuatu yang sudah jadi. Sementara, guru
yang memandang bahwa matematika merupakan suatu proses akan lebih menekankan
aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika. (Marpaung,
1998).
Akhirnya, yang menjadi permasalahan psikologis
adalah bahwa pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur dan banyak
“luka psikologis” yang diderita siswa berkaitan dengan pendidikan matematika.
Untuk dapat menyembuhkan luka psikologis tersebut maka peran seorang guru
sangat besar dalam hal ini, sehingga minat siswa terhadap matematika tumbuh
subur kembali. Pendidikan matematika di sekolah hanya akan berlangsung dengan
baik dan sampai pada tujuannya jika ada sinergi dari banyak pihak, seperti
siswa, guru, orang tua, dan pihak lain yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Antara saatu
komponen dan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan
dapat saling menginspirasi agar pembelajaran matematika di sekolah menjadi
lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih dinamis, dan humanis.
Dengan berbagai usaha yang dilakukan dalam proses
pembelajaran matematika di sekolah ini, maka diharapkan matematika tidak lagi
dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat, atau pihak lain.
Melainkan mereka dapat memandang matematika secara “jujur” (baca: utuh) yang
pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia
demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi umat
manusia. Amin. (*)
Posting Komentar untuk "MATEMATIKA, MITOS MASYARAKAT, DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEKOLAH"
Posting Komentar